Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 telah membuka peluang bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mendapatkan izin tambang, khususnya dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Kebijakan ini memicu perdebatan luas, baik dari sisi regulasi, sosial, maupun etika.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk afirmasi ekonomi terhadap ormas, namun di sisi lain, banyak kalangan mempertanyakan kapasitas ormas keagamaan dalam mengelola sektor pertambangan yang sangat kompleks dan penuh risiko. Artikel ini mengulas secara mendalam isu yang berkembang serta potensi dampak sosial dari pemberian perizinan tambang kepada entitas keagamaan.
Kebijakan ini didasarkan pada PP Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan turunan dari UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa WIUPK yang sebelumnya dikuasai oleh badan usaha swasta kini dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, dan organisasi keagamaan berbadan hukum yang bekerja sama dengan mitra usaha berpengalaman.
Pasal 83A PP tersebut menyatakan bahwa ormas keagamaan diberikan prioritas dalam pengelolaan wilayah tambang eks PKP2B, dengan tujuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi ormas serta memperkuat peran mereka dalam pembangunan nasional.
Dari sudut pandang pemerintah, pemberian perizinan tambang kepada ormas keagamaan bertujuan untuk:
Meningkatkan pendanaan ormas secara mandiri, tanpa bergantung pada APBN atau donasi luar negeri.
Memberdayakan ormas agar berperan aktif dalam pembangunan ekonomi nasional.
Mendorong pengelolaan tambang yang lebih inklusif dan menyentuh komunitas akar rumput.
Jika dikelola dengan baik, skema ini dapat menjadi model baru dalam pemberdayaan lembaga sosial berbasis keagamaan yang selama ini hanya berperan dalam pendidikan, dakwah, dan sosial keagamaan.
Meskipun niat kebijakan ini dinilai positif, banyak pihak menyoroti sejumlah masalah yang berpotensi muncul:
Sektor pertambangan adalah sektor padat modal, padat teknologi, dan penuh risiko lingkungan. Banyak ormas keagamaan dinilai belum memiliki kapasitas teknis dan sumber daya manusia untuk menjalankan operasi tambang sesuai standar. Jika pengelolaan diserahkan sepenuhnya ke pihak ketiga atau investor, dikhawatirkan akan muncul konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Ketika ormas keagamaan mengelola tambang, maka identitas agama berpotensi terbawa dalam konflik lahan, eksploitasi sumber daya, dan dampak lingkungan. Ini bisa memicu gesekan horizontal di masyarakat, terutama di wilayah tambang yang rawan konflik sosial.
Beberapa pengamat khawatir pemberian izin tambang kepada ormas bisa dimanfaatkan sebagai alat politik atau bentuk “balas budi” kepada kelompok tertentu. Hal ini menimbulkan persepsi ketimpangan akses terhadap sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kepentingan publik secara luas.
Penolakan Masyarakat Lokal: Ketika wilayah tambang berada di daerah sensitif atau padat penduduk, operasi pertambangan bisa menimbulkan penolakan warga karena dampak terhadap lingkungan dan mata pencaharian.
Eksklusivitas Akses Sumber Daya: Jika hanya ormas tertentu yang mendapatkan hak kelola, ini dapat menciptakan ketimpangan sosial dan kecemburuan di antara kelompok masyarakat lainnya.
Pergeseran Peran Ormas: Ormas keagamaan yang sebelumnya fokus pada misi sosial dan pendidikan bisa mengalami pergeseran orientasi ke arah profit, yang berisiko menurunkan kepercayaan publik.
Baca juga layanan kami:
Agar pemberian perizinan tambang kepada ormas keagamaan tidak menimbulkan dampak negatif, beberapa langkah perlu dilakukan:
Peningkatan Kapasitas dan Pelatihan Teknis
Ormas harus mendapatkan pendampingan dari konsultan pertambangan dan pemerintah untuk memahami teknis operasi dan tata kelola tambang.
Transparansi dan Akuntabilitas
Perlu dibuat sistem transparan dalam pengelolaan hasil tambang dan kerja sama bisnis agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan.
Keterlibatan Masyarakat Lokal
Masyarakat di sekitar lokasi tambang harus dilibatkan sejak awal dalam proses perizinan, sosialisasi, dan pelaksanaan kegiatan tambang.
Kemitraan dengan Perusahaan Profesional
Ormas dapat menggandeng badan usaha profesional yang memiliki pengalaman di sektor tambang, dengan tetap menjaga fungsi pengawasan dan arah sosial.
Pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan merupakan kebijakan yang penuh tantangan. Di satu sisi, ini bisa menjadi peluang baru untuk memperkuat kemandirian ekonomi ormas. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola secara hati-hati, potensi konflik, penyalahgunaan, dan kerusakan sosial-lingkungan bisa menjadi ancaman nyata.
Solusi terbaik adalah memastikan bahwa setiap proses perizinan tambang melibatkan pemangku kepentingan yang kompeten dan berintegritas. Konsultasi, pendampingan teknis, serta pengawasan dari pihak ketiga yang independen sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.